JawaPos.com – Indonesia kehilangan sosok dokter inspiratif dan sederhana, almarhum Djoenaidi Widjaja. Ia berpulang di usia 92 tahun, beberapa waktu yang lalu. Kepergian almarhum itu akan dikenang sepanjang masa oleh dunia kedokteran Indonesia.
Sumbangsih beliau sangat besar dalam mewariskan segudang ilmu yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita oleh banyak pasien. Sosok almarhum Djoenaidi Widjaja dikenal luas sebagai pelopor ilmu neurofisiologi di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) Kota Surabaya.
Istri Djoenaidi Widjaja, Trifosa Indrawati menuturkan, almarhum suaminya menjadi salah satu dokter legendaris yang sangat menguasai ilmu tersebut hingga mendapatkan gelar sebagai ahli neurofisiologi klinis.
Perjalanan mendapatkan gelar bergengsi dalam dunia kedokteran tidaklah mudah. Pada 1982, beliau harus berpisah dengan keluarga dan berhenti dari praktek dokter selama delapan belas bulan. Semua itu, semata-mata dilakukannya untuk menuntut ilmu kedokteran neurofisiologi di departemen Neurofisiologi Klinis, Institut Neurologi, Rumah Sakit Universitas St. Radboud, Nijmegen, Belanda.
Kepala bagian saat itu adalah Profesor S.L.H. Notermans MD. Ph.D. Selain itu beliau juga bekerja selama 1 tahun di Laboratorium Neuromorfologi di universitas yang sama untuk upgrading course. Kepala bagian saat itu adalah H.H.J. Jaspar. MD. Di tahun 1983 beliau menerima pelatihan akupunktur klasik dari Asosiasi Dokter Akupunktur Belanda (Nederlanse Artsen Acupunctuur Vereniging) di Santpoort, Belanda.
Tepat pada 1991, beliau menyelesaikan Ph.D di bidang Neurology dari Catholic University of Nijmegen, Belanda dengan nilai yang memuaskan. Segudang ilmu kedokteran yang didapatkan dari negeri seberang itu pun segera dipraktekkan di Surabaya. Tempat beliau mengabdi sebagai seorang dokter selama lebih dari enam puluh tahun.
“Saya mempersilakan suami saya untuk menuntut ilmu di Belanda pada waktu itu. Saya memilih mendampingi anak-anak sekolah di Indonesia,” kata Trifosa.
Semangat belajar dan mengajarnya sangat tinggi. Ia terus mengasah kemampuan neurofisiologi yang dimilikinya dengan membeli peralatan diagnosis, yakni Electromyography (EMG), alat yang memiliki sangat penting dalam mempraktekkan ilmu neurofisiologi. Alat medis tercanggih pada masa itu dibeli langsung dari Belanda.
Diketahui, EMG adalah teknik mengevaluasi dan merekam aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot rangka (skeletal muscles). Mendeteksi potensi listrik yang dihasilkan oleh sel-sel otot ketika diaktifkan secara elektrik atau neurologis. Sinyal yang dikeluarkannya dapat mendeteksi kelainan.
Kemudian, EEG adalah alat merekam aktivitas elektrik di sepanjang kulit kepala yang mengukur fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak.
“Pulang dari Belanda membeli alat EMG, untuk dibawa ke Kota Surabaya,” kata Trifosa.
Ada yang unik ketika beliau mengasah kemampuan neurofisiologi melalui penggunaan alat tersebut. Beliau selalu mengajak teman sejawat dan mahasiswa untuk mencoba kegunaan alat tersebut. Objeknya adalah pasien yang datang ke tempat praktek maupun berasal dari pasien dari fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah seperti Rumah Sakit (RS).
Sejumlah pasien tersebut mendapatkan analisis dari alat yang tergolong canggih pada masa itu. Untuk, mengetahui tentang sumber penyebab dari penyakit yang diderita para pasien itu. Setelah diketahui terkait dengan sumber penyakitnya, maka akan dilakukan tindakan medis yang sesuai dengan hasil analisis dari kedua alat itu.
“Di tempat praktek biasanya Bapak (Djoenaidi Widjaja) bersama teman-teman menggunakan alat itu untuk pasien. Dengan menggunakan ambulans pasien tersebut datang untuk diperiksa menggunakan alat itu,” tuturnya.
Penggunaan alat itu pun dilakukan secara eksploratif dan intensif, demi mengetahui esensi dari analisis yang dihasilkan melalui EMG. Hal ini menyebabkan umur dari alat itu pun hanya bertahan hingga beberapa tahun saja.
Kerja kerasnya membuahkan hasil yang manis. Berkat serangkaian usaha yang dilakukan oleh almarhum Djoenaidi Widjaja itu membuatnya menjadi ahli neurofisiologi klinis di Kota Surabaya. Arti dari gelar itu adalah, beliau memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam menganalisis suatu penyakit menggunakan alat tersebut. Dengan begitu, pengobatan pasien yang dijalani dapat sesuai dengan penyakit yang diderita.
Indikasinya, fasilitas kesehatan milik Djoenaidi Widjaja yakni klinik sekaligus laboratorium dalam waktu yang relatif singkat ramai dipadati oleh masyarakat yang ingin menggunakan jasa beliau sebagai ahli neurofisiologi klinis. Lalu, kolega teman sejawat, hingga eks mahasiswanya banyak meminta nasehat berkaitan dengan penyebab penyakit yang sedang ditangani.
“Laboratorium langsung ramai dan klinik kami juga langsung ramai dipadati oleh masyarakat yang ingin berobat,” imbuh Trifosa.
Sumber: www.jawapos.com