Stiff Person Syndrome, Kaku dan Spasme Otot hingga Sulit Berjalan

Stiff Person Syndrome, Kaku dan Spasme Otot hingga Sulit Berjalan

Stiff person syndrome (SPS) seperti yang dialami diva pop dunia Celine Dion membuat penderitanya merasakan kaku hingga spasme otot. Gangguan autoimun meningkatkan risiko terkena SPS. Penyakit langka yang menyasar sistem saraf itu tidak bisa sembuh total. Terapi yang tepat bisa mengendalikannya.

KELAINAN neurologis itu sangat jarang terjadi. Kejadiannya hanya sekitar satu dari satu juta orang. Perempuan dua kali lebih berisiko terserang stiff person syndrome dibandingkan laki-laki. ’’Penyakit ini juga bisa muncul pada usia berapa pun, ya. Biasanya paling banyak terjadi pada usia 30-an dan 40-an tahun,” ujar dr Prita Aulia Nastaghfiruka SpN.

Dokter saraf di RS Mitra Keluarga Kenjeran, Surabaya, tersebut menuturkan, stiff person syndrome memengaruhi otak dan medula spinalis. Dua gejala utamanya berupa kaku dan spasme otot yang bersifat progresif serta berulang.

Kekakuan otot itu mengakibatkan rasa nyeri pada punggung, bahu, dan leher. Otot bisa mendadak kaku tanpa adanya pemicu. Biasanya menyerang area tubuh, lengan, dan tungkai.

’’Akibatnya, bisa terjadi perubahan postur pada tubuh penderita menjadi abnormal serta dapat mengalami kesulitan berjalan,” imbuh dr Prita.

Celine Dion menuturkan, dirinya kerap mengalami spasme otot (kontraksi involuntary otot secara mendadak dan keras disertai nyeri dan gangguan fungsi) hingga menghambat aktivitas. Antara lain, sulit berjalan dan bernyanyi. Dion pun terpaksa membatalkan jadwal tur konsernya.

Sementara itu, spasme otot muncul apabila dipicu beberapa faktor. Di antaranya, suara yang terlalu keras, perubahan suhu (suhu dingin), aktivitas yang membuat stres, dan situasi yang berisik.

’’Gejala lainnya, penderita mengalami kecemasan yang berlebihan dan agorafobia atau kecemasan saat berada di ruangan terbuka,” lanjutnya.

Dalam kasus yang cukup parah, spasme otot dapat membuat pengidapnya jatuh saat otot-otot mengendur. Seiring waktu, pengidapnya akan sulit berjalan hingga lumpuh.

’’Meski tidak dapat disembuhkan total, gejala stiff person syndrome bisa dikendalikan agar tidak semakin parah,” tuturnya.

Dokter spesialis saraf akan meresepkan beberapa obat. Mulai obat penenang, pereda kaku, hingga kontraksi otot. Termasuk pengobatan untuk nyeri neuropati. Selain terapi obat-obatan, pengidapnya dianjurkan menjalani terapi fisik untuk mencegah kelumpuhan.

’’Sebuah studi National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) menunjukkan, pengobatan imunoglobulin intravena (IVIg) efektif untuk mengurangi gejala penyakit ini,” tambah dr Prita.

Penyebab stiff person syndrome belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit tersebut. Misalnya, penderita autoimun seperti diabetes tipe 1, gangguan tiroid, vitiligo, dan anemia pernisiosa.

’’Penderita stiff person syndrome yang diteliti punya antibodi pada glutamic acid decarboxylase atau GAD yang meningkat. Kira-kira lebih dari 10x di atas kadar normal dari hasil pemeriksaan antibody blood test,” bebernya.

Kondisi itu juga rentan menyasar pengidap kanker. Meski demikian, dugaan penyebab tersebut masih harus diteliti.

DIAGNOSIS STIFF PERSON SYNDROME

Tidak mudah mendiagnosis SPS. Dokter akan melakukan rangkaian tes, meliputi:

– Pemeriksaan fisik neurologi

– Antibody blood test glutamic acid decarboxylase (GAD)

– Pemeriksaan lumbal pungsi

– Elektromiografi (EMG) untuk mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas listrik yang dihasilkan otot skeletal

Sumber: www.jawapos.com