JawaPos.com – Dampak dari penggunaan antibiotik tak sesuai dosis atau tidak sesuai anjuran dokter tampak nyata bagi kesehatan. Dalam pernyataan Kementerian Kesehatan kondisi tersebut dapat memicu situasi menjadi resisten atau tak manjur terhadap antibiotik lainnya disebut pula Antimikroba Resisten (AMR).
Kemenkes menyatakan AMR saat ini bisa dikatakan sebagai pandemi senyap (silent pandemic) karena angka kematiannya cukup tinggi. Pada 2030, diperkirakan penggunaan antibiotik di seluruh dunia akan meningkat sebesar 30 persen, bahkan semakin meningkat sebesar 200 persen jika AMR tidak benar-benar ditangani dengan baik. Sementara itu data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) sebagai data acuan nasional terkait AMR di Indonesia menunjukkan peningkatan presentase AMR di Indonesia pada tahun 2019.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa AMR adalah salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan masyarakat di dunia. Hal itu terutama di negara berkembang dan dapat menjadi penyebab 10 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2050.
Apa itu Resistansi antimikroba (AMR)?
Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (PRAINDO) dr. Harry Parathon, Sp.OG (K) mengatakan AMR terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan. Dampaknya membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian.
Bagaimana AMR terhadap luka?
Ia menambahkan salah satu area yang saat ini masih memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka. AMR mempengaruhi prosedur manajemen luka karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memungkinkan masuknya mikroba, termasuk yang resistan antimikroba ke dalam jaringan.
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resistan antibiotik lebih sulit untuk diobati dan menyebabkan biaya pengobatan yang lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, dan meningkatkan kematian. Dengan mengendalikan mikroba, infeksi dapat dicegah dan dengan demikian mengurangi kebutuhan akan antibiotik.
“Sekitar 70 persen bakteri penyebab infeksi pada luka, resistan terhadap sedikitnya 1 jenis antibiotik yang umum digunakan,” katanya dalam webinar baru-baru ini.
Bagaimana merawat luka yang tepat?
Untuk itu perawatan luka dengan teknologi terkini seperti Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) coated wound dressings efektif mencegah AMR dan mempercepat kesembuhan luka pada pasien. Joice Simanjuntak dari Essity melalui teknologi Sorbact untuk perawatan luka dapat mencegah AMR.
Tujuannya mengikat mikroba dengan mekanisme kerja murni secara fisik sehingga mikroba menjadi tidak aktif, dan mengangkatnya tanpa membunuh. Penelitian membuktikan bahwa mekanisme ini tidak mengakibatkan AMR.
“Berbeda dengan balutan antimikroba lainnya yang secara aktif membunuh mikroba, balutan luka ini terbuat dari Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) yang bersifat hidrofobik, mengikat beberapa jenis mikroba secara permanen, dan mengurangi jumlah organisme di permukaan luka sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat,” katanya.
Editor : Nurul Adriyana Salbiah
Reporter : Marieska Harya Virdhani
Sumber: www.jawapos.com