Kriminalitas Kerap Dipicu Masalah Kesehatan Mental, Ini Kata Psikiater

JawaPos.com – Sejumlah pelaku kriminal seringkali memiliki motif saat ditangkap polisi. Sebagian dari mereka mengaku terpaksa karena masalah ekonomi. Himpitan keadaan seringkali memicu stres dan kesehatan mental.

Kepala Divisi Psikiatri Forensik Dept.Psikiatri FKUI-RSCM Dr. dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked mengatakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ/ODMK) masih rentan mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi hak-haknya saat berhadapan dengan hukum karena masyarakat dan penegak hukum belum sepenuhnya mengenal ragam manifestasi masalah kesehatan jiwa. Apalagi banyak ODGJ/ODMK yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan.

Masalah kesehatan jiwa yang ditemukan pun sangat beragam. Misalnya gangguan yang menyebabkan seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan.

 

Contoh Masalah Kesehatan Jiwa

Pelaku kriminal mengaku mengalami gangguan suasana perasaan yang menetap seperti depresi, gangguan mengatur perilaku seperti yang dialami orang dalam kondisi mania dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), hingga perbedaan dalam cara menerima dan merespons informasi, seperti spektrum autisme dan disabilitas intelektual. Gangguan jiwa tidak serta-merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, tetapi memerlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal.

Peran psikiatri forensik dalam masalah hukum mencakup pada hukum pidana, perdata dan administrasi.

Sebagai contoh, pada kasus seorang ibu tunggal yang mengalami gangguan depresi sampai mendengar suara-suara halusinasi yang membuatnya membunuh ketiga orang anaknya. Psikiater forensik akan menjelaskan bagaimana gangguan depresi yang sedemikian berat akan membuat ibu tersebut tidak bisa berpikir logis sesuai realita sehingga tidak bisa mengarahkan perilakunya sehingga dapat membantu dalam pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekadar hukuman penjara.

“Tidak semua gangguan jiwa dapat dideteksi dengan mudah karena sebenarnya hanya sedikit sekali gangguan jiwa yang memenuhi stereotipe di mata awam, seperti yang berbicara sendiri, berhalusinasi, atau berperilaku kacau,” jelasnya.

Sebaliknya, mayoritas akan terlihat seperti orang ‘biasa’ tanpa ada perubahan yang mencolok bila hanya dilihat sekilas, seperti pada gangguan depresi dan kecemasan. Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka sedang berhadapan dengan ODGJ/ODMK.

“Kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis dan situasional,” jelas dr. Natalia.

Sementara itu, Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyams mengatakan kondisi kejiwaan seorang tersangka tindak pidana menjadi salah satu pertimbangan dalam melanjutkan proses pemeriksaan, tetapi kondisi itu tidak serta merta menjadikan tersangka dapat dibebaskan dari hukuman. Penilaian harus dilakukan kasus per kasus dan orang per orang, tidak dapat digeneralisasi.

“Aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal,” ungkapnya.

Pertama, kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik, dan infromasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.

Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sudah diatur perihal dasar pemaaf yang dapat dimaknai bahwa jika seseorang mengalami gangguan kejiwaan pada saat melakukan tindak pidana, sehingga tidak dapat bertanggungjawab atas tindakannya itu, maka tidak dipidana.

Lalu pada Pasal 44 ayat (2) diatur bahwa hakim dapat memerintahkan pemberian pengobatan kepada orang tersebut. Untuk sampai kepada kesimpulan bahwa seseorang mengalami gangguan kejiwaan ketika melakukan tindak pidana tidak dapat hanya diterka atau dinilai oleh pihak awam, melainkan harus melalui pemeriksaan ahli yang dilakukan berdasarkan prosedur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.

Penilaian personal oleh ahli terkait dengan kondisi kejiwaan tersangka atau terdakwa itu juga dapat dijadikan dasar untuk aparat penegak hukum memberikan dukungan layanan atau fasilitas untuk memperlancar proses pemeriksaan terhadap seseorangan dengan disabilitas mental yang sudah diatur pula dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Editor : Banu Adikara

Reporter : Marieska Harya Virdhani

Sumber: www.jawapos.com