Anak dan Perempuan Pengidap HIV Sulit Dapat Akses Obat ARV

UNAIDS: Anak dan Perempuan Pengidap HIV Sulit Dapat Akses Obat ARV

JawaPos.com – Obat Antiretroviral (ARV) efektif untuk pengobatan HIV AIDS. Data UNAIDS menyebutkan setiap tahunnya angka Orang dengan HIV (ODHA) terus meningkat. Bagi anak dan remaja juga bukan hal yang mudah untuk mengakses layanan kesehatan.

Adanya keterbatasan obat khusus anak dan hambatan hukum seperti kebijakan persyaratan usia juga menjadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan. Belum lagi pengetahuan mengenai isu HIV serta kesehatan seksual dan reproduksi, stigma masyarakat dan kurangnya dukungan keluarga semakin menyulitkan mereka untuk bisa mengakses antiretroviral therapy.

Dari data epidemiologi UNAIDS, hingga tahun 2021 jumlah orang dengan HIV mencapai 38,4 juta jiwa. Situasi epidemi pada kelompok perempuan dan anak menunjukkan angka yang memprihatinkan. Hal ini dibahas dalam World AIDS Day 2022 Press Briefing ‘Let’s Equalize, No Woman and Child Left Behind’ baru-baru ini.

“Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Dengan begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030,”, ungkap Krittayawan Boonto dari UNAIDS.

Prevalensi ODHA di Indonesia

Di Indonesia terdapat sekitar 543.100 orang yang hidup dengan HIV dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru di tahun 2021. Sebanyak 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sementara lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja (usia 15-24 tahun) dan 12 persen infeksi baru pada anak.

Sayangnya, hanya 28 persen yang menerima pengobatan ARV. Indonesia menduduki posisi 3 terbawah di Asia Pasifik untuk cakupan pengobatan ARV bersama dengan Pakistan dan Afghanistan.

“Hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, dipastikan berasal dari ibu yang tidak menerima terapi ARV,” katanya.

Ibu dan Anak Kunci Akhiri Pandemi

Data juga menunjukkan bahwa ada banyak ibu menghentikan terapi, selama masa hamil dan menyusui. Selain itu adanya hambatan hukum yang mempersulit para ibu melakukan tes HIV dan memulai terapi ARV sebelum hamil menyebabkan semakin meningkatnya kasus penularan.

Padahal perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Sayangnya, kata dia, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk melakukan pengobatan.

“Pada ibu hamil dan menyusui alasan untuk menghentikan terapi karena adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, biaya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar dan efek samping obat,” katanya.

Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, UNAIDS mendorong semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan. Semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV. Semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viraload tersupresi.

Editor : Eko D. Ryandi

Reporter : Marieska Harya Virdhani

Sumber: www.jawapos.com