Akses Obat Terbatas, Hanya 1 dari 10 Obat Global Tersedia di Indonesia

JawaPos.com – Sebagian besar bahan baku obat di Indonesia masih impor.  Percepatan akses obat-obatan inovatif memegang peranan penting dalam mendorong peningkatan produktivitas masyarakat dan ekonomi negara.

Berdasarkan data terbaru, saat ini Indonesia menempati peringkat terakhir ASEAN, di mana hanya 9 persen obat baru yang diluncurkan selama 9 tahun terakhir (2012-2021). International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) memperluas standar pelayanan kesehatan dengan inovasi-inovasi, serta memperluas akses obat-obatan inovatif.

“Laporan tersebut menyoroti bahwa hanya sekitar 1 dari 10 obat baru yang diluncurkan secara global tersedia untuk pasien Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus,” jelas Ketua IPMG Ait-Allah Mejri dalam webinar baru-baru ini.

Ia mengatakan akses tepat waktu mendapatkan obat-obatan baru dapat menyelamatkan hidup pasien, meningkatkan hasil kualitas kesehatan, membantu mengurangi biaya perawatan kesehatan. Selain itu dapat berkontribusi pada produktivitas ekonomi, dan menjadikan Indonesia tujuan yang lebih menarik untuk investasi dan inovasi masa depan.

IPMG Board Member Nora T. Siagian mengatakan akar permasalahan ini bersifat multifaktorial dan hanya dapat diatasi melalui kerjasama lintas sektor. Permasalahan ini mencakup akses masuk ke pasar Indonesia dan peraturan yang mengatur pendaftaran obat di JKN, keterbatasan anggaran, dan kurang optimalnya value-based assessment dan strategi pembiayaan yang inovatif.

“Perbaikan dalam berbagai aspek diperlukan agar obat-obatan inovatif tersedia bagi pasien yang membutuhkan sehingga bisa membawa pasar Indonesia lebih menarik bagi investor,” katanya.

Cegah Berobat ke Luar Negeri

Keterbatasan akses pengobatan ini seringkali membuat masyarakat berobat ke luar negeri. Guru Besar Ekonomi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, mengatakan jika kita tidak membuat kebijakan besar perbaikan sistem kesehatan sekarang, maka kualitas dan produktivitas Generasi Emas yang kita cita-citakan pada 2045 tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa Asia lain dengan sistem kesehatan yang lebih baik. Thabrany menambahkan cara paling efektif untuk mencegah puluhan triliun Rupiah dana Indonesia keluar negeri untuk biaya pengobatan adalah meningkatkan belanja dan tarif JKN sampai pada harga keekonomian yang layak.

“Selain itu, Sistem Kesehatan harus memberikan insentif finansial agar seluruh penduduk dapat menikmati obat-obat inovatif dalam rangka perbaikan kualitas hidup bangsa,” tegas Prof Hasbullah. (*)

Editor : Dinarsa Kurniawan

Reporter : Marieska Harya Virdhani

Sumber: www.jawapos.com